Kamis, 01 November 2012

Ketika Esensi Jadi Pertaruhan

Televisi sebagai sarana hiburan maka tentu saja menyajikan sederetan program yang dapat menghibur para penontonnya. Tak hanya sebagai media hiburan saja, televisi memiliki berbagai manfaat seperti yang diungkapkan oleh Mahayoni, seorang pakar televisi, dalam bukunya Anak vs Media. Televisi mampu untuk menyebarkan informasi serentak ke penjuru dunia dengan berbagai macam acara di dalamnya. Sehingga para insan pertelevisian berbondong-bondong membuat program untuk disiarkan. Namun dari berbagai acara yang disiarkan, tentunya memiliki kategori program acara favorit atau tidak bagi pemirsanya. Disini dalam perspektif penikmat program acara televisi, saya pun memiliki program favorit dan program yang tidak favorit. Program acara televisi yang paling saya minati adalah Laptop Si Unyil. Meskipun secara usia, saya bukan anak kecil lagi namun acara ini tetap mengena di dalam hati. Laptop Si Unyil merupakan program yang tidak saja menyajikan hiburan tapi juga tayangan yang mendidik bagi pemirsanya. Program acara yang ditayangkan oleh Trans7 ini pertama kali tayang pada tanggal 19 Maret 2007. Melalui program Laptop Si Unyil, hal-hal yang sebenarnya sulit dipahami dapat disampaikan dengan penjelasan yang sederhana, menarik dan lugas sehingga lebih mudah dipahami bahkan pertanyaan anak yang terkadang sulit dijawab oleh orang tua. Program ini menyajikan tayangan yang mencerdaskan dan menghibur untuk anak dan keluarga seperti perkenalan tentang benda, ensiklopedi, permainan daerah, kerajinan tangan dan uji ilmiah yang berkaitan dengan benda tersebut misalnya uji coba mengapa roda bundar atau hukum aksi dan reaksi, sejarah dan proses pembuatan lampu dan bagaimana cara menyalakan lampu dengan kincir air yang dihubungkan dengan dynamo bermagnet seperti dalam konsep perubahan energi. Selain dari segi acara yang disajikan, para pemeran dalam acara ini cukup menghibur dan mencerdaskan. Seperti Unyil dengan rasa ingin tahunya yang tinggi, Pak Raden yang galak, dan Pak Ogah yang pemalas, pengganggu dan kocak. Melalui karakter yang ditampilkan dapat menjadi pendidikan bagi pemirsa acara untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Berikutnya, acara yang menurut saya kurang mengena adalah Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan di TVOne. Sangat berbeda dari pemaparan sebelumnya. Program acara ini saya rasa kurang mendidik dari segi moral dan perikemanusiaan. ILC terkesan sebagai acara yang tertutup dan hanya melibatkan para ahli hukum saja. Padahal di Indonesia tercipta dari berbagai struktur sosial dan berbagai pekerjaan. Menurut website TVOne, Indonesia Lawyers Club adalah sebuah program talkshow yang dikemas secara interaktif dan apik untuk memberikan pembelajaran hukum bagi para pemirsanya. Tapi apakah menjadi sebuah pembelajaran hukum jika isinya hanya menyerang individu yang dianggap bersalah. Seperti yang dilansir oleh Republika.co.id, KPI diminta menghentikan program acara Indonesia Lawyers Club. Hal ini didasarkan karena Indonesia Media Watch mengatakan, ILC kerap kali melanggar aturan penyiaran, terutama hak asasi manusia. Ardinanda mengatakan, pada hari Rabu (29/8), para tamu ILC yaitu pengacara seperti Indra Sahnun Lubis dan Hotman Paris secara eksplisit melontarkan perkataan yang melanggar hak asasi manusia terhadap Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, dengan pernyataan tidak etis yang menyerang secara pribadi. Dengan kata-kata penghinaan seperti, “Pendek, kaya penjaga mesjid, dan lain-lain”. Padahal menurut Undang-Undang Penyiaran, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 36 ayat (6), melarang, "Memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional". Dari awal penanyangannya pun sudah tidak mengambil tempat di hati saya selaku pemirsa televisi. Referensi : Mahayoni. 2008. Anak vs Media : Kuasai Anak Anda Sebelum Media Menguasainya. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. http://www.trans7.co.id/frontend/home/view/172 diakses pada 16 September 2012 pukul 20.13 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/30/m9k38a-kpi-diminta-hentikan-tayangan-indonesia-lawyer-club diakses pada 16 September 2012 pukul 20.37 http://video.tvonenews.tv/program/indonesia_lawyers_club diakses pada 16 September 2012 pukul 20.39.

Kugapai Cintamu: Refleksi Jiwa Muda Menggapai Cinta

Bagai flamboyan yang meranggas di musim kemarau, dan mulai bersemi kembali di musim hujan. Berlomba-lomba dengan terpaan badai untuk merekahkan bunganya.” Prolog diatas dapat menjadi gambaran cerita film garapan sutradara Wim Umboh (1977) yang bertajuk Kugapai Cintamu. Film ini merupakan bagian kedua dari trilogi yang ditulis oleh Ashadi Siregar. Bagian pertama dari trilogi ini adalah film Cintaku di Kampus Biru (1976) sedangkan bagian terakhirnya adalah film Terminal Cinta (1977). Cerita film ini berkutat pada tiga orang tokoh utama, yaitu Faratody (Cok Simbara), Irawati (Jenny Rachman) dan Widuri (Lenny Marlina), serta seorang tokoh lainnya yaitu Antonius (Roy Marten). Awal cerita dari film ini dimulai dari Mapram –sekarang dikenal dengan Ospek- oleh mahasiswa UGM. Irawati yang digambarkan sebagai gadis manja, saat mapram sakit sehingga masuk kesekretariatan panitia diantarkan oleh Widuri. Dari sinilah awal perkenalan Irawati dengan Tody. Tody merupakan tipologi tokoh mahasiswa yang ragu-ragu dalam cinta hingga sering berkonsultasi dengan sahabatnya, Anton, seorang mahasiswa psikologi. Waktu terus berlalu, ternyata terjadi cinta segitiga yang tak terungkap antara Tody, Widuri, dan Irawati. Widuri dengan penggambarannya sebagai gadis Jawa tak berani mengutarakan cintanya kepada Tody dan pasrah akan cintanya. Widuri hanya mampu mencintai dalam kediamannya, karna ia tahu bahwa cintanya kalah dengan Irawati yang notabene adalah anak orang kaya. Irawati yang dari lahir sudah diramalkan tidak berumur panjang. Hal ini membuat ia sangat dimanja oleh kedua orang tuannya. Kehidupan yang bergelimang harta dan kebebasan membuat Irawati ingin menjahili Widuri, karna menurutnya Widuri adalah saingan yang sulit untuk mendapatkan cinta Tody. Keisengan Irawati terjadi saat Tody ber-KKN ke desa Widuri. Widuri diajak ke Kaliurang dan diperkosa kawan-kawan berandalan Irawati, hingga hamil dan pulang ke desa. Tody kembali ke Kampus dan mendapat surat dari orangtuanya bahwa tak sanggup membiayai sekolahnya lagi, lalu bekerja pada orangtua Irawati. Cerita semakin kompleks ketika Tody berusaha membatu temannya yang membutuhkan uang setengah juta rupiah, namun temannya tak mengembalikan. Akhirnya orang tua Irawati meminta Tody untuk menikahi Irawati yang hamil akibat pergaulan bebasnya. Kehidupan mereka tak bejalan bahagia, dan Tody memutuskan untuk bekerja di tempat lain. Ia meninggalkan Irawati. Tanpa disadari ternyata Tody tetap mencintai Widuri, Tody menyusul Widuri ke desa karena tahu bahwa suami Widuri sangat semena-mena kepadanya. Namun ternyata nasib berkata lain, Widuri menolak untuk diajak pergi oleh Tody. Dalam perjalanan pulangnya, Tody mengalami kecelakaan hebat hingga dibawa ke rumah sakit. Di tempat yang sama, yakni di Rumah Sakit, Irawati sedang merasakan kesakitan karena akan melahirkan anaknya. Dan akhir dari cerita ini adalah Tody dan Irawati meninggal dalam waktu yang bersamaan sebelum mereka tahu bahwa mereka berdua saling mencintai. Anton hanya mampu termangu-mangu diantara dua gundukan tanah yang bertuliskan Faraitody Wangge (3 Juli 1946 – 12 Mei 1973) dan Irawati Faraitody Wangge (13 November 1953 – 12 Mei 1973). Benar-benar realitas jiwa muda menggapai cintanya. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari film ini. Pertama, pengambilan adegan setiap scenenya masih terlihat kasar. Apalagi ketika ada proses zooming untuk memperlihatkan bahwa Irawati sedang serius dalam berucap. Wajah Irawati nampak “wagu” dan kurang tersirat makna yang ingin disampaikan oleh sang pemain. Sehingga ekspresi penonton justru tertawa melihatnya. Karena ini film sekitar 35 tahun yang lalu, teknologi kamera yang digunakan juga mempengaruhi kualitas pengambilan gambar yang dilakukan oleh kameramen. Kedua, masalah adegan yang ditampilkan dalam film cukup vulgar dan sering mengundang kata “wuidihhh...” dari penonton. Hal ini dapat dimaklumi karena Lembaga Sensor Film jaman itu belum seketat jaman sekarang. Dan memang film era 70-an memang lebih didominasi fil-film percintaan yang vulgar daripada film horor yang menjadi trend di masa kini. Hal ketiga yang menjadi sorotan adalah masalah alur. Alur yang ditampilkan dalam film ini bukan mengerucut pada puncak permasalahan, justru melebar sehingga tidak dimengerti bagaimana jalan cerita dalam film ini. Namun, dalam akhir cerita Anton duduk termangu memandang nisan di depannya. Dan ternyata nisan itu adalah nisan Irawati dan Tody. Inilah yang menjadi kunci alur cerita. Dan baru paham bahwa maksud dari film ini adalah semacam flashback kenangan yang dilakukan oleh Roy Marteen yang berperan sebagai Anton.

Bicycle Thieves (1948): Jejak ‘Neorealisme Movement’ ala Italia

“For me, it is above all, a moral position from which to look at the world. It then became an aesthetic position, but at the beginning it was moral” (Roberto Rossellini) Sebuah film hitam putih. Itulah kesan pertama saat melihat pembukaan film Bicycle Thieves yang begitu kelabu dengan alunan musik yang klasik. Dalam hati mulai menerka-nerka apakah ini film yang membosankan atau film yang melankolis. Namun tulisan “One of the greatest film all of time” sepertinya mampu mengubah persepsi awal saya. Dramatis, miris, dan ironis. Berakhir dengan keharuan. Meskipun diselimuti keharuan, ini bukan film melankolis seperti dugaan awal saya. Ini sebuah film neorealis, film yang nampak nyata. Film ini berkisah tentang Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) yang kehilangan sepedanya. Sebenarnya cerita sederhana namun ditampilkan begitu nyata. Seperti menyaksikan adegan kehidupan yang hanya terbatasi oleh sekat kaca. Kehidupan sosial-ekonomi kelas bawah mampu terpotret secara apik dalam film ini. Sang sutradara, Vittorio de Sica mampu mencerminkan gerakan neorealis yang terjadi pada kala itu. Vittorio de Sica -sineas neorealis yang lahir di antara puing-puing paska Perang Dunia II ini- turun ke jalan dan syuting di lokasi yang sebenarnya, berupaya sedekat mungkin dengan realitas. Tak pelak sang sutradara pun memasukkan penggambaran baru mengenai neorealisme yang akan diangkat. Dan dalam film ini, ‘neorealisme movement’ yang mampu ditangkap adalah penggambaran kota yang cenderung berantakan dan kumuh, proses modernisasi, industrialisasi, sekularisasi, dan urbanisasi. Benar-benar persis dengan keadaan usai PD II. Dalam film yang bergenre neorealis ini, tidak hanya memperlihatkan kehancuran fisik sang aktor, tapi juga secara metafisik dan eksistensial. Seperti yang tergambar dalam cerita, setelah Antonio Ricci kehilangan sepeda, ia pun juga kehilangan pekerjaan. Sehingga membawa kehidupannya, Maria (Lianella Carell) dan Bruno (Enzo Staiola) ke keadaan yang semakin sulit. Dan ia pun harus bersusah payah mencari sepedanya. Di samping cerita yang neorealis, yang mengangkat realitas sosial di kota Roma, dan secara lebih luas kehidupan sosial ekonomi Italia pasca Perang Dunia II, pemilihan setting yang benar-benar nyata nampaknya menjadi poin positif dalam film ini. Latar yang dipilih mampu membuat penonton terhanyut dalam cerita. Latar tempat yang tergambar meliputi tempat-tempat umum (pegadaian, jembatan, gereja, dsb). Kronologi waktu yang bertepatan dengan berakhirnya PD II cukup menjadikan cerita semakin menarik dengan kondisi kota yang masih semrawut, kondisi masyarakat yang miskin, dan kekuasaan kepala negara sangat mendominasi di masa itu. Pemilihan pemeran yang non-aktor semakin merealiskan film ini. Peran sebagai Antonio Ricci rasanya memang hanya bisa dihayati oleh orang-orang yang memang terbiasa ‘susah’, seperti Lamberto Maggiorani, yang dalam kehidupan nyata adalah seorang buruh pabrik. Moralitas yang lebih ditonjolkan dalam film ini adalah moralitas politik-ekonomi yang kala itu nampak ‘tidak adil’. Dari Bicycle Thieves kita diperlihatkan betapa bergantungnya manusia terhadap pekerjaan dan uang. Namun, dalam masa itu pekerjaan dirasa tidak adil, tak semua orang berhak memperoleh pekerjaan. Hanya orang yang punya sepedalah yang boleh bekerja. Dan ketika sepeda itu telah hilang, hilang pula pekerjaan itu. Lalu sebenarnya apa yang menjadi keunikan dalam film ini? Seperti petikan yang saya tampilkan diawal. Yang berupa sebuah pernyataan moral-politik. Kurangnya dana bisa mempengaruhi estetika sebuah film secara positif. Hal itu yang nampak dalam film ini. Bukan permasalah bagaimana cerita ini diakhiri, namun bagaimana cerita ini berjalan di tengah kekurangan-kekurangan yang menghinggapi. Kala itu, dengan kamera seadanya, kekurangan dana, kondisi negara yang masih “ambigu” mampu melahirkan sebuah film yang bisa dibilang “wow”. Ending yang ambigu, sepertinya memperlihatkan bagaimana keadaan Italia pada saat itu yang terbilang sebagai negara yang masih mencari jati diri.

Kamis, 06 Oktober 2011

ichh WOW !!!

Selasa, hari ke 3 di bulan Oktober. Dari Bandara Djalaludin Gorontalo, aku memulai perjalanan pulangku. Tepatnya pukul 7 pagi aku take off menuju bandara Hasanuddin di Makassar.
Rasanya perjalanan ini terasa biasa saja. Hingga aku melihat pramugara yang berjalan di sampingku. Terlihat tampan, berkulit putih, berhidung mancung, dan pastinya orang yang melihatnya akan mengatakan bahwa dia adalah lelaki yang sempurna. Begitu pula dengan teman di sampingku. Ia tertarik dengan pramugara yang berinisial v itu. Segala gerak-geriknya selalu Ia amati. Mulai ketika pramugara itu menjelaskan beberapa alat perlindungan diri hingga ketika pramugara itu membagikan makanan ringan untuk kami.
Namun ternyata rasa kagum itu tak berlangsung lama. Aku dan temanku melihat ada jerawat di pipi sebelah kanannya. Aneh juga, rasa kagum hilang hanya karena jerawat. Eits, jangan salah. Jerawat yang satu ini sudah memasuki stadium tinggi dan sudah waktunya untuk dioperasi. Temanku berbisik kepadaku bahwa tak semestinya ada jerawat di muka pramugara itu. Aku pun setuju. Karena pramugara selalu dilihat dari berbagai sudut mata. Kalau boleh menyarankan, lebih baik diobati ketika jerawat itu masih kecil. untung saja jerawat itu hanya 1 saja. jadi tidak begitu mengganggu pandangan. Tetap tampan ketika dipandang.